Widjojo Nitisastro/kompas.com |
Bulan Oktober 1970, majalah Ramparts yang ditulis oleh David
Ransom menerbitkan sebuah artikel mengenai hiruk pikuk perpolitikan dan keadaan
masyarakat Indonesia tahun 1960-an. Dari
tulisan tersebut munculah istilah Mafia Berkeley.
Bila Mafia Berkeley diidentikan dengan organisasi kriminal dengan
struktur dan kode etik tertentu seperti novel The Godfather karya Mario Puzo, mungkin tidak terlalu tepat. Namun,
bila Mafia Berkeley ini sebuah kelompok teknokrat yang diikat oleh kesamaan
visi, komitmen, kedekatan, dan kepercayaan. Kelompok inilah yang menjadi
penggagas dan otak pembangunan Indonesia pada masa Orde Baru.
Kata mafia Berkeley ini merujuk kepada sekelompok akademis lulusan
Universitas California di Berkeley yang dibiayai oleh Ford Fondation. Di
Berkeley, lebih spesifik mereka menekuni cabang ekonomi pembangunan. Dari
sejumlah ekonom yang ada di kelompok ini, nama Widjojo Nitisastro yang dianggap
sebagai “Sang Don” dari Mafia Berkeley.
Pertengahan tahun 1960-an, ekonomi Indonesia sudah kehilangan
dayanya dan sedang menuju kehancuran. Pangan berkurang, inflasi hampir 600
persen, devisa kosong, kemiskinan ada di mana-mana. Pada saat inilah Widjojo
dan kelompoknya memainkan peranan yang cukup besar.
Mereka berhasil meyakinkan Soeharto bahwa perekonomian warisan
pemerintah Soekarno hanya dapat diperbaiki dengan menghormati hukum-hukum
ekonomi, menyehatkan peran mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perkembangan
dunia.
Seluruh ide dan gagasan dari Widjojo dan kelompoknya ini
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya pada akhir 1960-an inflasi
dapat dikendalikan, penanaman modal asing dan dalam negeri melonjak,
kredibilitas bank-bank negara pulih, dan produksi secara keseluruhan meningkat.
Dalam perkembangannya setiap kebijakan mereka tidaklah berjalan
mulus. Pada awal 1973, kritik terhadap mereka mulai bermunculan, yang mencapai
puncaknya pada peristiwa Malapetaka 15 Januari atau sering dipopulerkan dengan
nama Malari, 1974.
Kaum cendikiawan seperti Mohammad Hatta, Sarbini Sumawinata,
Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis serta
aktifis mahasiswa berhasil meyakinkan masyarakat bahwa berbagai program yang
dijalankan oleh Widjojo Nitisastro telah membawa Indonesia masuk terlalu jauh
ke dalam liberalisme ekonomi.
Program-program tersebut, kata para pengkritiknya, semakin
memperlebar jurang sosial ekonomi serta menyebabkan Indonesia didominasi pihak
asing. Oleh karena itu mereka mencoba meyakinkan pemerintah maupun rakyat bahwa
strategi kelompok Widjojo harus diganti dengan strategi yang lebih meningkatkan
kepentingan bisnis kaum pribumi, pemerataan pendapatan, dan melindungi pasar
dalam negeri.
Awal tahun 1990-an banyak orang mengkritik lagi beberapa kebijakan
kelompok Widjojo ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa paket kebijakan pada
akhir tahun 1980-an yang bersifat pro-pasar bebas sehingga memunculkan
konglomerat-konglomerat baru yang berasal dari keturunan Tionghoa. Para
pengkritik pada periode ini adalah para pengusaha pribumi.
Badai kritik yang datang
terhadap kebijakan ekonomi Widjojo memang tak memberinya keleluasaan
yang sangat besar, dengan kata lain, dalam kondisi-kondisi tertentu, kebijakan
ekonomi menyesuaikan dengan situasi politik..
Tetapi toh itu semua tak menghalangi pandangan dunia internasional
terhadap sosok Widjojo sebagai pengendali tim teknokrat yang telah memutar
haluan ekonomi suatu bangsa berpenduduk
terbesar keempat di dunia.
Kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi Indonesia pada tahun 1966-1968
telah dipelajari oleh beberapa negara berkembang dan menjadi model untuk memformulasi
kebijakan-kebijakan mereka.
***
Widjojo lahir pada 23 September 1927. Setelah lulus kuliah di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI)
tahun 1955, Widjojo melanjutkan pendidikan ekonomi dan demografi di
Universitas California, Berkeley pada September 1957 hingga Maret 1961. Memperoleh
gelar Ph.D disana. Dia menjadi guru besar di Fakultas Ekonomi UI di usia 34
tahun. Selama periode 1964-1968 menjadi dekan FE UI. Widjojo menulis sebuah
buku, yang menjadi salah satu buku yang amat populer di kalangan mahasiswa
ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul Soal Penduduk dan Pembangunan
Indonesia.
Ketika Mafia Berkeley sedang memerankan kebijakan yang cukup
besar, Widjojo menempati posisi yang cukup strategis dalam pemerintahan
Soeharto. Ketua Bappenas (1967-1971), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional (1971-1973), Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas (1973-1978 dan 1978-
1983), Penasehat Ekonomi Presiden (1993-1997).
Dengan melihat peran dan jabatannya dalam sejarah kekuasaan Orde
Baru, Widjojo Nitisastro tak bisa dipisahkan dari pembangunan ekonomi Indonesia
periode 1966-1997. Dialah arsitek ekonomi atau pemikir ekonomi orde baru.
Namun, seperti pernah ditulis oleh Chatib Basri, Direktur Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI. Widjojo bukan aktor di atas panggung
dengan lampu sorot dan tepuk tangan penonton, Widjojo bukanlah ilustrasi yang
baik tentang kekuatan kata dan retorika. Ia tak mengentak. Ia lebih banyak diam
dan bekerja.
Subuh
itu, pada 9 Maret 2012, sang begawan telah meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di usia 84 tahun itu, sang “Don” melahirkan
banyak jejak-jejak pemikiran baik yang tertuang dalam buku-buku maupun pada kader-kader
ekonom yang brilian di negara ini.
Good bye Don
2 comments:
hmmm. ada2 aja ya... mafia udah tua jg.hee
nice share gan
kunjungi balik ya gan dan berkomentar juga di blog ane. salam kenal
mukanya ramah bgt dan terlihat sangat cerds orangnya
salam blogwalking Saiful Bahri Bikin Pencarian Yahoo Indonesia Naik
Post a Comment