18 August 2009

Sarjana

Jangan bicara tentang sarjana, karena hari ini kata itu masih saya simpan untuk beberapa lama. Saya simpan dalam sebuah kotak, dikunci, kemudian kuncinya saya pegang dengan sangat kuat.

Kata itu, seperti bagian penting dari do'a atau mantra, punya efek yang kuat, dan menjadi sebuah pengharapan bagi orang yang mendambakannya. Di hadapan mereka, yang tak kunjung lulus, kata ”sarjana” akan jadi sebuah problem.


Sekira beberapa bulan yang lalu, di kampus Bumi Siliwangi, di pelataran sebuah gedung, saya berdiri dengan setangkai bunga di tangan. Hari itu merupakan sebuah pesta bagi para sarjana.

Dia, seorang sarjana, duduk dengan baju kebesarannya. Saya datang kepadanya sambil menyerahkan bunga. Pertemuan itu melahirkan sebuah percakapan, diantara percakapan itu, sambil tersenyum manis dia berkata, "kamu kapan nyusul?" Saya diam tak bisa menjawab.

Percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan senyum kebahagiaan. Namun laku tubuh tak selamanya laku hati. Tubuh bisa bergerak kegirangan, namun hati bisa merintih sedih. hati memang selalu jujur.

Sejak hari itu, ketika dia pergi dengan baju kebesarannya, saya tahu bahwa tidak menjadi sarjana tepat waktu memang menyakitkan.

Saya ingat sebuah lirik lagu dari the panas dalam, laiknya lagu The panas dalam yang lain, yang tak butuh tafsir rumit, cukuplah direnungkan. Atau kalau tak bisa, cukuplah dinyanyikan seenaknya:


Kisahku...

Lalu kapan saya akan di wisuda?
Adik kelas sudah lebih dulu.
Hati cemas merasa masih begini.
Teman baik sudah di-DO.

Orang tua di desa menunggu.
calon istri gelisah menanti.
Orang desa sudah banyak menunggu.
Aku pulang membangun tarka.

Tolong diriku...
Koboi kampus yang banyak kasus.
Kini ku cemas...
Gelisah sepanjang waktu-waktuku.

Bagaimana begini saja.
Teruskan apa adanya.
Bagaimana begitu saja.
Nanti kaya bapak dibagi.

Tolong diriku...
Koboi kampus yang banyak kasus.
Kini ku cemas...
Gelisah sepanjang waktu-waktuku.

Dosen sentimen...


Tapi kemudian saya melihat dengan mata kepala sendiri, seorang sarjana menjadi gembira hanya ketika di memakai baju kebesarannya saja. Berhari-hari kemudian, semua-mua kebahagian menjadi kelabu.

Yang tak mereka sangka: menjadi sarjana adalah memulai fase yang rumit dari yang sedikit rumit. Semua begitu cepat, yang tak siap akan digilas oleh yang siap, yang loyo akan digilas sama yang kuat. Menjadi seorang penganggur adalah sebuah pilihan yang paling buruk diantara yang buruk-buruk lainnya.

Pengalaman ini membuat saya belajar bahwa menjadi sarjana di waktu yang tepat alangkah lebih baik daripada hanya menjadi sarjana tepat waktu . Anda boleh tak setuju. Anda boleh beranggapan bahwa hal itu hanya pleidoi yang tak bertanggung jawab. Bebas, Itu semua hak anda. Saya malas berdebat.

Saya hanya ingin katakan: " hari ini saya belum diwisuda, so what? "

1 comment:

ags said...

menjadi sarjana itu memang sulit juga ya.. ck.ck