09 February 2011

Ya, Namanya Juga Guru Honorer!

Seorang teman mengeluh. Padahal tak biasanya dia mengeluh. Setelah dia bercerita, penyebab keluhannya ternyata bersumber pada ketidaksesuaian kerjanya dengan gaji yang diterima. “Bayangkan saja, saya capek-capek kuliah untuk mendapat gelar yang sesuai dengan profesi saya sekang, ketika nyari kerja yang sesuai, eh susahnya minta ampun. Pas giliran dapat kerja, gajinya cuman cukup buat ongkos sama keperluan kerja doang,” gerutu teman saya.

Kerja apakah gerangan teman saya tersebut? ”Saya guru honorer,” jawab temen saya.


Ups, tunggu dulu, keluhan itu tidak saja meluncur dari teman saya saja. Ada puluhan ribu guru honorer lainnya yang senasib, atau bahkan bahkan lebih buruk, yang menjerit karena gaji yang didapat jauh dikatakan layak. Gaji mereka berkisar antara 125 ribu sampai dengan 400 ribu. Khusus yang bergaji 350 ribu ke atas, bisa dikatakan sedikit bila dibandingkan dengan yang bergaji di bawahnya. Guru honorer memang hidup tanpa jaminan : tidak ada gaji tetap, tunjangan keluarga, dan kesehatan serta pension.

Padahal sepengetahuan saya ketika dulu kuliah praktek mengajar di sekolah, ataupun melihat beberapa guru honorer di daerah saya, saya melihat kerja dan beban tanggung jawab tidak berbeda jauh dengan dengan guru yang sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS).


Ketika guru yang berstatus PNS membuat laporan kinerja, membuat rancangan pengajaran, piket, dll, guru honorer juga melakukan hal yang sama. Bahkan dalam beberapa kasus, bila misalnya guru honorer itu masih muda maka sering dimintai bantuan, untuk tidak mengatakan disuruh-suruh, oleh guru yang berstatus PNS.

Menurut data Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencatat bahwa saat ini di Indonesia sebesar 922 ribu orang, terdiri dari 472 ribu orang di sekolah negeri, dan 450 ribu orang di sekolah swasta. Semua tersebar di seluruh kabupaten/kota.

Dengan jumlah yang tidak sedikit tersebut, setidaknya guru honorer berjasa mengisi kekosongan guru di daerah. Sebagian besar dari jumlah di atas, mengajar di sekolah-sekolah agama yang tidak terjangkau sistem pembinaan pendidikan oleh pemerintah daerah. Ini terjadi mengingat pendidikan agama di bawah kewenangan pemerintah pusat langsung.

Yang lebih miris lagi, selain gaji kurang layak, banyak pula guru honorer yang belum terlindungi jaminan sosial. Bukankah guru tersebut sebagian besar bukan dari keluarga yang berkecukupan. Mau bukti? Di Kalimantan Selatan misalnya, dari 45 ribu guru honorer di sekolah swasta, sekitar 30 ribu di antaranya hidup miskin.

Ketika bekerja pun masa depan meraka jauh lebih tidak terjamin. Sebanyak enam guru honorer SMA 2 Padalarang, diberhentikan pihak sekolah via SMS. Pemberhentian tersebut dilakukan dengan alasan efisiensi tenaga pengajar di lingkungan sekolah. Bandingkan misalnya dengan gur yang berstatus PNS yang untuk menegur kesalahan secara prosedur saja ribetnya minta ampun, sehingga bila ada kesalahan hanya ditegus secara lisan, bahkan cenderung didiamkan.

Saat ini pemerintah memang sudah memikirkan dan bahkan melakukan beberapa kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi lagi-lagi nasib guru honorer kurang terakomodasi, karena kenaikan gaji itu hanya untuk mereka yang bersetifikasi, yang hampir semuanya guru PNS.
Protes-protes dari puluhan ribu guru honorer, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah seakan dianggap angin lalu. Saat ini pemerintah mencari penyelesaian yang tuntas terhadap masalah guru honorer dengan menentukan pendapatan minimum bagi para guru honorer meskipun secara bertahap.

Selain itu jika guru honorer yang sudah memenuhi persayaratan sulit untuk diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil, maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan supaya guru honorer ini mendapatkan bantuan penghasilan yang layak.

2 comments:

gums said...

Guru honorer memang merana. gaji dikit..eh kerjanya sama dengan PNS

iponktea said...

kenapa yah dana untuk sertifikasi padahal bisa untuk mengangkat guru honorer..