08 September 2010

PTN Cari Fulus

Bila anda kaya dan mempunyai anak kurang pintar jangan terlalu cemas untuk tidak masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Karena bagi si kaya banyak cara yang legal sebagai alternatif. Jalan tol itu bernama jalur masuk khusus. Di setiap PTN, terutama yang bersetatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Jalur itu bertabur fulus, sehingga si miskin, walaupun sepintar apapun dia, tak akan ambil bagian untuk bersaing.

Berapa fulus yang harus dikeluarkan? Dari angka 16 juta sampai dengan 175 juta, bahkan tak sedikit diatas harga itu bila jurusannya cukup bergengsi seperti jurusan kedokteran. Ouch yeah.. Lho bukankah PTN itu milik negara dan tentunya disubsidi dengan uang rakyat?

Cerita ini bermula pada tahun 2000 ketika empat perguruan PTN terkemuka berubah statusnya dari PTN biasa menjadi Perguruan Tinggi  (PT) BHMN. BHMN ini merupakan salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang dibentuk awalnya untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka privatisasi lembaga pendidikan.

Dengan status tersebut, setiap PT mempunyai kewenangan sendiri atas nama otonomi. Otonomi bukan saja dalam hal akademik, tetapi juga pendanaan. Maka biaya pun bisa dengan mudah dinaikan sesuai dengan keputusan PT masing-masing. Dalih otonomi juga menjadikan PT BHMN bebas mencari dana dari sispapun karena pemerintah mengurangi subsidi biaya kuliah.

Laiknya sebuah perusahaan, PT BHMN mempunyai kebebasan mencari sumber fulus melalui hasil penelitian, jasa konsultasi, atau meminjamkan stafnya sebagai tenaga ahli ke sektor industri. Selain itu, mereka bisa membuka program yang mendatangkan fulus seperti ekstensi dan program megister. Pendeknya, apa pun potensin yang dimiliki perguruan tinggi bisa menggenjot penerimaan, asalkan tak melanggar aturan main, pasti halal. Dan sebagai akibat dari hal itu, maka kenaikan SPP pun menjadi hal yang lumrah. Lucunya, mereka menganggap hal itu bukan kenaikan, tapi, “sekadar tarif baru”, oalah!

Para mahasiswa dan elemen masyarakat yang peduli terhadap kepentingan masa depan pendidikan kontan memprotes. Bahkan para mahasiswa turun ke jalan guna menolak keberadaan PT BHMN. Tapi pemerintah dan PT BHMN tak bergeming. Bahkan beberapa tahun PT BHMN  bertambah anggotanya menjadi tujuh PT.

Dari kisah itu bertahun kemudian dapat kita saksikan bagaimana kultur akademik yang sejatinya memunculkan budaya intelektual malah tergerus budaya pasar yang menciptakan budaya bisnis. Para staf ahli, peneliti, dan dosen di kampus ternama berbondong-bondong menjual jasa lewat PT BHMN kepada perusahaan-perusahaan dan baik milik pemerintah maupun swasta. Mereka kadang, atau bahkan sering lupa untuk membimbing mahasiswa dalam membimbing.

Penelitian-penelitian hanya bersifat proyek-proyek pesanan yang berorentasi profit. Tak ada lagi proyek yang sesuai dengan idealisme platform universitas. Ini menjadi ironi, dimana cita-cita BHMN itu ingin kemandirian yang luas pada akademik tetapi dalam kenyataannya tidak mandiri, bisa diatur sedemikian rupa yang penting dapat proyek.

Pemerintah kemudian melembagakan komersialisasi ini kepada bentuk yang lebih tinggi melalui undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disyahkan pada akhir 2008. Tapi untunglah sekelompok intelektual, masyarakat, dan mahasiswa berhasil membatalkan undang-undang tersebut melalui sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi pemerintah tak kehilangna akal, mereka kemudian berencana membentuk undang-undang susulan untuk mengisi kekosangan undang-undang tersebut.

Mungkin, pemikiran Jurgen Habermas  tentang Demokrasi deliberatif layak dikemukakan kembali. Dalam model Habermas ini, demokrasi harus mengikutsertakan pertimbangan publik, kita jadikan alat ukur perlunya uji materi suatu undang-undang, perlu tidaknya sebuah undang-undang yang disetujui DPR diundangkan. Dengan sistem tersebut memperkecil kebijakan yang sangat merugikan rakyat.

Otonomi akademik memang perlu, tetapi itu harus disokong penuh oleh pemerintah. Jadi, jangan sampai otonomi akademik ini dibarengi dengan otonomi pembiayaan jika masyarakat kita belum mampu untuk melaksanakan hal itu.

Bila itu dilakukan, maka universitas akan menciptakan tradisi intelektual, bukan tradisi bisnis. Bukankah di dunia ini tida ada negara yang bangkrut hanya karena membiayai pendidikan rakyatnya?

No comments: